Author:  http://www.enformasi.com/2009/07/beda-psikolog-dan-psikiater.html
Bagi    awam, kedua profesi ini kerap membingungkan. Bukan cuma itu, tidak  sedikit yang  merasa malu atau segan berkonsultasi    dengan psikiater karena takut anaknya  dianggap kurang waras.  "Ini jelas sebuah kekeliruan," ujar Prof. Dr. dr. H.  Dadang Hawari,  Sp.KJ. "Psikiater tidak hanya menangani masalah gangguan jiwa  berat,  tapi juga ringan. Anak kecanduan main game  pun dapat berkonsultasi dengan psikiater,"  lanjutnya.
Sementara terhadap psikolog, justru dianggap   hanya menangani masalah yang ringan-ringan saja. Padahal, psikolog juga  dapat  menangani masalah gangguan jiwa berat. Seperti dipaparkan  DR.  Rose Mini A. Prianto, M.Psi., beberapa psikolog juga ada yang bertugas  di rumah sakit jiwa atau klinik   pascatrauma. Psikolog bisa melihat seberapa berat gangguan pasien  dan apa yang  dapat dilakukan psikolog untuk mengatasinya. Bisa saja  psikolog melakukan terapi  perilaku atau membuat pasien lebih tenang  menjalani kehidupannya. "Jadi, tidak  benar jika psikolog hanya  menangani masalah yang ringan-ringan saja," tandas  psikolog yang akrab  disapa dengan panggilan Romi ini.
APA SIH BEDANYA? 
Memang, ada beberapa hal  yang membedakan psikolog dan  psikiater,  sebagaimana dijelaskan Dadang di bawah ini:
"Mungkin inilah  poin penting yang membedakan psikolog  dan psikiater," tandas Guru Besar  pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia  ini. Maksudnya, dalam  hal penanganan masalah dimana psikiater boleh memberikan  terapi  obat-obatan (farmakoterapi).
Dalam kesehatan mental, terang  Dadang, yang  terganggu tidak hanya psikososial penderita tapi juga  biologisnya sehingga  memerlukan penanganan obat-obatan. Contoh kasus,  anak yang mogok sekolah dengan  disertai gangguan psikosomatis seperti  sakit perut, sakit kepala, mual, muntah,  dan pusing-pusing.  Psikosomatis merupakan kelainan atau gangguan pada fisik yang   disebabkan faktor psikis seperti stres.
Nah, dalam kasus ini,  anak tidak hanya  memerlukan konseling untuk mengetahui penyebab mogok  sekolahnya—apakah ada  konflik dengan guru atau teman, dan  sebagainya—tetapi juga pemberian obat-obatan  khusus untuk menangani  gangguan psikosomatisnya. "Obat sakit kepala, mual,  muntal tidak  dibutuhkan karena tidak efektif, yang mereka butuhkan obat-obatan   psikiatri yang cocok dengan dosis tepat."
Penggunaan obat-obatan  juga lazim  digunakan untuk anak-anak yang mengalami kecanduan, tidak  hanya narkotika atau  rokok, lo, tapi juga kecanduan lainnya seperti  kecanduan bermain  game. "Jika bermain game-nya  sudah berlebihan bahkan  sampai mengganggu sekolahnya, maka anak memerlukan  terapi  obat-obatan."
Penanganan psikiatri di seluruh dunia, ungkap  Dadang,  dilakukan dengan empat cara yang disingkat BPSS, yaitu   Biologic (obat-obatan),  Psychologic (konsultasi),  social (penanganan  sosial), dan spiritual (agama). "Keempat-empatnya  harus dijalankan  secara terpadu." Dadang lantas mencontohkan kasus anak yang  mengalami  stres karena konflik dengan teman. Dia harus mendapatkan penanganan   lewat konsultasi, apa yang dapat dilakukan untuk meredakan ketegangan  yang  dialami, lalu diberikan obat-obatan agar anak tidak kelewat cemas  dengan  permasalahan yang dialami.
Begitu pun sosialnya, dengan  melihat penyebab stres  si anak lalu mencoba mengatasinya, apa yang  dapat dilakukan anak/orangtua/guru  untuk mengatasi konflik anak,  membekali anak mengatasi konfliknya sendiri, dan  lain-lain. Agama juga  penting dijalani agar anak merasa tenang, seperti  mengajarkan berdoa,  beribadah, berbuat baik sehingga dicintai Tuhan serta akan  memiliki  banyak teman, dan sebagainya.
Sementara soal farmakoterapi,  apakah anak memerlukan penanganan obat-obatan  atau tidak, hanya  dokterlah yang tahu. Dokter akan melihat sejauh mana berat  ringannya  penyakit, juga efektivitas pemberian obat-obatan tersebut. "Sebab, ada   gangguan seperti stres atau trauma yang tetap memerlukan penanganan  obat-obatan.  Jika tidak diobati, gangguan itu selalu muncul. Anak yang  tidak stabil, misalnya,  dia enggan membuka diri, diajak ngobrol enggak  mau, sering mengamuk, dan  lain-lain. Jadi, gangguan itu harus diatasi  terlebih dahulu. Setelah kondisi  anak stabil, barulah dia bisa diterapi  perilaku atau konsultasi, dan lain-lain,"  terang Dadang.
SALING BEKERJA SAMA
Meski  ada perbedaannya, namun Romi menyarankan orangtua agar jangan terlalu   bingung untuk memilih antara psikolog dan psikiater. Sebab, pada  dasarnya kedua  profesi ini, baik psikolog atau psikiater, mendalami  ilmi kejiwaan dan juga ilmu  perkembangan anak. Psikolog pun banyak yang  mendalami ilmu kedokteran. Jadi,  sebagian besar masalah yang bisa  diatasi psikolog, dapat dilakukan juga oleh  psikiater. Toh, jika  memerlukan bantuan penanganan ahli lain, psikolog tetap  akan  mereferensikan anak agar berkonsultasi lebih lanjut kepada psikiater.   Demikian pula sebaliknya.
Bahkan, dalam penanganan kasus  tertentu, kerja sama keduanya sangat  diperlukan. Misal, anak yang mogok  sekolah, dilihat dulu adakah gangguan fisik  yang menyertai. Jika ada  gangguan seperti anak kurang vitamin, gangguan  pencernaan, gangguan  kecemasan, maka penanganan dokter atau psikiater diperlukan.  "Bisa saja  anak tidak mau sekolah karena pikirannya tertekan sehingga  membutuhkan  obat penenang. Sebab, jika anak belum tenang, sulit sekali  memberikan  treatment kepada anak." Namun jika tidak ada masalah fisik,  maka bisa  saja psikolog menangani masalah tersebut sendiri.
Meski  begitu, dalam hal-hal tertentu ada kekhususan bidang yang digarap   psikolog, seperti menangani masalah pendidikan anak. Contoh, bagaimana  mengukur  kemampuan anak seperti IQ, juga cara melejitkan potensi anak  secara maksimal. "Jadi,  psikolog tidak hanya menangani anak bermasalah,  tapi juga memaksimalkan potensi  diri anak," tukas Romi. Selain itu,  tambahnya, psikolog juga dapat menangani  masalah-masalah ringan di  rumah, semisal tentang aturan dan disiplin di rumah,  anak sulit makan  atau tidak bisa makan sendiri; juga masalah kemandirian seperti  anak  belum bisa buang air kecil sendiri, serta masalah perilaku buruk anak   semisal mengumpat, meludah, dan lain-lain. "Masalah-masalah ini mungkin  lebih  tepat ditangani psikolog," katanya.
Nah, kini sudah  tak bingung lagi kan?!
KAPAN  BERKONSULTASI?
Tentunya, selama permasalahan anak  dinilai ringan dan orangtua merasa mampu  serta tahu teknik  menanganinya, maka tak masalah bila orangtua berusaha  mengatasinya  sendiri. Apalagi saat ini banyak media yang dapat memperluas  wawasan  orangtua tentang penanganan dan pengasuhan anak. Ada majalah, tabloid,   milis-milis, bahkan parenting center di televisi ataupun  seminar-seminar. Banyak  orangtua yang terbantu, bahkan berhasil  melakukan penanganan sendiri. "Namun  jika orangtua kesulitan atau tidak  mampu, tak ada salahnya meminta bantuan para  ahli, dalam hal ini  psikolog dan psikiater," kata Romi.
Nah, masalah apa sajakah  yang perlu bantuan psikolog atau psikiater? Berikut  di antaranya:
A.  Adanya penyimpangan perilaku, di antaranya:
1. Sering bolos  sekolah,  tidak mau sekolah, atau mogok sekolah.
2. Terlibat  kenakalan anak  atau remaja, bahkan anak sempat dituntut di pengadilan.  Bisa mencuri, melakukan  kekerasan pada anak lain, atau kenakalan yang  dianggap berlebihan lainnya.
3. Kerap ditegur guru atau  diskors  karena kelakuan buruknya.
4. Kabur atau mencoba  beberapa kali  kabur dari rumah.
5. Selalu berbohong.
6. Melakukan  hubungan seks.
7. Tertangkap basah merokok.
8. Sering kali  mencuri atau  menyembunyikan barang milik orang lain.
9. Kerap  merusak barang  orang lain.
10. Prestasinya jeblok  sehingga  tidak naik kelas.
11. Tidak disiplin. Sering  melawan orangtua,  guru, dan sosok yang memiliki otoritas tinggi lainnya.
12 Sering  berkelahi.
13. Kecanduan bermain game.
B.  Memperlihatkan gejala-gejala stres dengan berbagai penyebab, antara   lain:
1. Sulit tidur, sering mengompol,  menurunnya nafsu  makan, gagap, sering sakit perut, kerap sakit kepala, dan mimpi  buruk.
2.  Perubahan mood, asalnya periang  mendadak murung.
3. Marah,  menangis, atau takut  berlebihan, mengisolasi diri atau enggan bergaul,  dan lain-lain.
4. Sulit berkonsentrasi, gangguan  pemusatan  perhatian, sering melamun, dan lain-lain.
5. Temperamental,  mengalami gangguan  emosi.
C. Menunjukkan gejala autisma,  gangguan pemusatan perhatian, hiperaktif,  dan lain-lain.
Gejala  autisma sendiri di antaranya tidak ada kontak mata, gangguan bicara,   gangguan motorik, gagal melakukan hubungan sosial, tidak peduli dengan  orang  lain, berjalan jinjit, dan lain-lain.
D. Mengalami  gangguan dan keterlambatan perkembangan.
Terlambat bicara,  terlambat berjalan, dan keterlambatan lainnya.
Job Vacancy, Indonesia Job,  Job Indonesia
 
No comments:
Post a Comment